Kamis, 08 Desember 2016

HAKIKAT ILMU FILSAFAT









Oleh :
Arif Fathurrahman
072116055



JURUSAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PAKUAN BOGOR
TAHUN 2016

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
            Manusia adalah makhluk hidup yang memiliki berbagai potensi untuk berkembang terus, merealisasikan diri, serta menyempurnakan wujudnya sebagai manusia. Manusia tidak cukup hanya tumbuh dan berkembang dengan dorongan instingnya saja. Manusia dibekali akal budi untuk bertahan dan mengembangkan pengetahuan.
            Dengan akal budinya, kemampuan manusia dalam bersuara bisa berkembang menjadi kemampuan berbahasa dan berkomunikasi, sehingga manusia disebut sebagai homo loquens dan animal symbolicum. Dengan akal budinya, manusia dapat berpikir abstrak dan konseptual sehingga dirinya disebut sebagai homo sapiens (makhluk pemikir) atau kalau menurut Aristoteles manusia dipandang sebagai animal that reasons yang ditandai dengan sifat selalu ingin tahu (all men by nature desire to know).
Pada diri manusia melekat kehausan intelektual (intellectual curiosity), yang menjelma dalam wujud aneka ragam pertanyaan. Bertanya adalah berpikir dan berpikir dimanifestasikan dalam bentuk pertanyaan.
Selain itu, Manusia juga merupakan makhluk yang memiliki rasa kagum pada apa yang diciptakan oleh Sang Pencipta, misalnya saja kekaguman pada matahari, bumi, dirinya sendiri dan seterusnya. Kekaguman tersebut kemudian mendorong manusia untuk berusaha mengetahui alam semesta itu sebenarnya apa, bagaimana asal usulnya (masalah kosmologis). Ia juga berusaha mengetahui dirinya sendiri, mengenai eksistensi, hakikat, dan tujuan hidupnya.
Faktor lain yang juga mendorong manusia berpikir sehingga timbul filsafat, pengetahuan dan ilmu adalah masalah yang dihadapi manusia (aporia). Kehidupan manusia selalu diwarnai dengan masalah, baik masalah yang bersifat teoritis maupun praktis. Masalah mendorong manusia untuk berbuat dan mencari jalan keluar yang tidak jarang menghasilkan temuan yang sangat berharga (necessity is the mother of science).
Filsafat merupakan suatu upaya berfikir yang jelas dan terang tentang seluruh kenyataan, filsafat dapat mendorong pikiran kita untuk meraih kebenaran yang dapat membawa manusia kepada pemahaman, dan pemahaman membawa manusia kepada tindakan yang lebih layak.
            Dengan berbagai latar belakang yang dikemukakan dapat disimpulkan bahwa manusia memliki banyak kebutuhan dan senantiasa menghadapi masalah dalam kehidupannya. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, manusia memiliki keistimewaan yang diberikan Allah SWT untuk selalu berpikir dengan akal budi yang disertai dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan kebutuhan intelektual yang juga sangat tinggi menyebabkan manusia melakukan kegiatan berpikir. Hasil kegiatan berpikir tersebut merupakan sebuah pengetahuan yang dikembangkan oleh manusia itu sendiri.

B.       Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, dalam makalah ini penulis akan berusaha mengkaji tentang beberapa hal, antara lain :
1.      Pengertian Filsafat
2.      Objek Filsafat
3.      Metode Filsafat
4.      Kebenaran dan Kegunaan Filsafat
5.      Pembagian Filsafat

C.      Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun dan dirancang sedemikian rupa dengan melibatkan berbagai sumber bacaan dengan tujuan sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui Pengertian Filsafat
2.      Untuk mengetahui tentang Objek Filsafat
3.      Untuk mengetahui tentang Metode Filsafat
4.      Untuk mengetahui tetang kebenaran dan kegunaan Filsafat
5.      Untuk mengetahui tentang pembagian Filsafat





BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Filsafat
Istilah filsafat yang merupakan terjemahan dari philolophy (bahasa Inggris) berasal dari bahasa Yunani philo (love of ) dan sophia (wisdom). Jadi secara etimologis filsafat artinya cinta atau gemar akan kebajikan (love of wisdom). Cinta artinya hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat berarti hasrat atau keinginan yang sungguh-sungguh akan kebenaran sejati.
Berdasarkan arti secara etimologis sebagaimana dijelaskan di atas kemudian para ahli berusaha merumuskan definisi filsafat. Ada yang menyatakan bahwa filsafat sebagai suatu usaha untuk berpikir secara radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir dengan mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Aktivitas tersebut diharapkan dapat menghasilkan suatu kesimpulan universal dari kenyataan partikular atau khusus, dari hal yang tersederhana sampai yang terkompleks. Kattsoff, sebagaimana dikutip oleh Associate Webmaster Professional (2001), menyatakan karakteristik filsafat adalah berpikir secara kritis, berpikir dalam bentuk sistematis, mengahasilkan sesuatu yang runtut, berpikir secara rasional serta bersifat komprehensif.
Para ahli lain mengungkapkan arti istilah apa itu filsafat secara arti terminologi, di antaranya :
1.      Plato, Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli.
2.      Aristoteles, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
3.      Al Farabi, filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maupun bagaimana hakikat yang sebenarnya
4.      Rene descartes, filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
5.      Langeveld, filsafat adalah berpikir tentang masalah-msalah yang akhir dan yang menentukan yaitu masalah-masalah yang mengenai makna keadaan Tuhan, keabadian, dan kebebasan.
Dari beberapa pengertian filsafat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan mempergunakan akal sampai pada hakikatnya. Filsafat bukannya mempersoalkan gejala-gejala atau fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dari suatu fenomena. Hakikat adalah suatu prinsip yang menyatakan sesuatu adalah sesuatu itu. Filsafat adalah usaha untuk mengetahui segala sesuatu. Jadi, filsafat membahas lapisan yang terakhir dari segala sesuatu.
     Ada beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof pertama yaitu Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas. Kedua, penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan. Ketiga adalah disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu Anda melihat apa yang Anda katakan dan untuk mengatakan apa yang Anda lihat.
Dengan demikian filsafat adalah ilmu yang mencintai dan mencari kebijaksanaan, atau pengetahuan mengenai semua hal melalui sebab-sebab terakhir yang didapati melalui penalaran atau akal budi, filsafat mencari dan menjelaskan hakekat dari segala sesuatu. Oleh karena itu Filsafat pada perisipnya adalah induk semua ilmu, demikian kata kaum filosof. Pada awalnya, cakupan obyek filsafat memang jauh lebih luas dibandingkan dengan ilmu. Keterbatasan ilmu hanya pada obyek kajian yang bersifat empiris saja, sementara obyek kajian filsafat mencakupi seluruhnya yaitu baik yang bersifat empiris maupun yang bersifat non-empiris.
Dalam perjalanan selanjutnya, ilmu semakin berkembang dengan pesatnya sehingga ilmu itu sudah terlepas dari induknya dan menyebabkan tindakan ilmu semakin liar, arogan dan kompartementalisasi antara satu bidang ilmu dengan bidang ilmu lainnya. Dengan kondisi seperti itu, diperlukan pemersatu visi keilmuan dari berbagai disiplin ilmu. Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan diharapkan dapat berperan kembali sebagaimana fungsinya untuk mengayomi semua bidang ilmu agar dapat berjalan pada jalurnya yaitu ilmu untuk kemaslahatan manusia.

B.       Objek Filsafat
            Objek filsafat ialah gejala-peristiwa alam dan sosial, atau segala sesuatu yang ada di dunia, yaitu alam, manusia dan binatang. Interaksi manusia dengan alam mengakibatkan manusia berpikir tentang alam, kemudian melahirkan pengetahuan, teori, dan ilmu alam. Interaksi manusia dengan manusia lainnya mengakibatkan manusia berpikir tentang manusia kemudian melahirkan pengetahuan, teori, dan ilmu sosial, maka hasil interaksi sosial melahirkan pengetahuan, teori, dan ilmu sosial.
Setiap ilmu pengetahuan memiliki objek tertentu yang menjadi lapangan penyelidikan atau lapangan studinya. Objek ini diperoleh melalui pendekatan atau cara pandang, metode, dan sistem tertentu. Adanya objek menjadikan setiap ilmu pengetahuan berbeda antara satu dengan lainnya. Lasiyo dan Yuwono (1994) membedakan objek filsafat atas dua macam yaitu :
1)      Objek material filsafat adalah segala sesuatu yang ada, yang meliputi : ada dalam kenyataan, ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan
2)      Objek formal filsafat adalah hakikat dari segala sesuatu yang ada.       
            Objek material filsafat adalah sasaran material suatu penyelidikan, pemikiran atau penelitian keilmuan. Objek filsafat bisa berupa apa saja, apakah itu benda-benda material ataupun benda-benda non material. Objek material filsafat tidak terbatas pada apakah hanya ada di dalam kenyataan konkret, seperti manusia ataupun alam semesta, ataukah hanya di dalam realitas abstrak. Sedangkan objek formal filsafat adalah mencari keterangan sedalam-dalamnya. Filsafat tidak menyelidiki benda dari segi susunanya saja, tetapi totalitas benda itu. Filsafat menyoroti dari
segi hakikat, inti terdalam. Ilmu-ilmu lain membatasi diri hanya pada pengalaman empiris, tapi sebaliknya filsafat berusaha mencari keterangan tentang inti dan hakikat segala sesuatu.
C.      Metode Filsafat
            Filsafat memiliki macam-macam metode, ada beberapa pendapat ahli  mengenai metode-metode filsafat :
1.        Metode Kritis (Socrates)
Metode kritis disebut juga metode dialektik. Dipergunakan oleh Socrates dan Plato. Harold H Titus mengatakan bahwa metode ini merupakan metode dasar dalam filsafat. Socrates (470-399 SM) menganalisis objek-objek filsafatnya secara kritis dan dialektis. Berusaha menemukan jawaban yang mendasarkan tentang objek analisanya dengan pemeriksaan yang amat teliti dan terus-menerus. Socrates menempatkan dirinya sebagai intelektual mid wife, yaitu orang yang memberi dorongan agar seseorang bisa melahirkan pengetahuannya yang tertimbun oleh pengetahuan semunya. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap orang tahu akan hakekat. Jadi Socrates menolong orang untuk melahirkan pengetahuan hakekat tersebut dengan jalan mengajak dialog yang dilakukan secara cermat. Lewat proses inilaah orang didorong untuk melahirkan pengetahuan yang dimiliki. Diteliti konsistensinya, dijernihkan keyakinan-keyakinannya, dibuka kesadarannya sehingga orang memahami keadaan dirinya. Entah dia memiliki pengetahuan yang sebenarnya atau dia kurang tahu.
Metode Socrates dan Plato ini disebut metode kritis, sebab proses yang terjadi dalam implikasinya adalah menjernihkan keyakinan-keyakinan orang. Meneliti apakan memiliki kosistensi intern atau tidak. Prinsip utama dalam metode kritis adalah perkembangan pemikiran dengan cara mempertemukan ide-ide, interplay antar ide. Sasarannya adalah yang umum atau batiniah. Akhir dari dialog kritis tersebut adalah perumusan definisi yang sudah merupakan suatu generalisasi.
2.        Metode Intuitif (Platinos dan Bergson)
Filsuf yang mengembangkan pemikiran dengan metode ini adalah Platinos (205-275 M) dan Henri Bergson (1859-1941). Platinos menggunakan metode intuitif atau mistik dengan membentuk kelompok yang melakukan kontemplasi religious yang dijiwai oleh sikap kontemplatif.
Metode filsafat Platinos disebut metode mistik sebab dimaksudkan untuk menuju pengalaman batin dan persatuan dengan Tuhan. Dengan demikian bisa kita pahami bahwa tujuan Platinos dengan filsafatnya adalah ingin membawa manusia kedalam hidup mistis, hidup yang mempertinggi nilai rohani dan persatuan dengan Yang Maha Esa.
Tokoh lain dalam metode intuitif adalah Henry Bergson, seorang filsuf Yahudi dan juga seorang matematikus dan fisikawan. Menurut Henry Bergson, rasio tidak akan mampu untuk menyelami hakekat sesuatu. Rasio hanya berguna bagi pemikiran ilmu fisika, matematika, dan mekanika. Untuk bisa menangkap, memahami hakekat suatu kenyataan kita harus mempergunakan intuisi. Intuisi menurut Henry Bergson adalah kekuatan rohani, merupakan naluri yang mendapatkan kesadaran diri.
Intuisi adalah percakapan untuk menyimpulkan dan meninjau dengan sadar lepas dari rasio. Pemikiran intuisi bersifat dinamis dan berfungsi untuk  mengenal hakekat pribadi dan seluruh kenyataan. Objek bisa dikenal sebagai masa murni yang keadaannya berbeda sekali dengan waktu dimana akal bisa mengenalnya.
3.         Metode Skolastik (Aristoteles dan Thomas Aquinas)
Metode oleh Skolastik dikembangkan Thomas Aquinas (1225-1247). Juga disebut metode sintetis deduktif. Metode berpikir skolastik menunjukan persamaan dengan metode mengajar dalam bentuknya yang sistematis dan matang. Ada dua prinsip utama dalam metode sekolastik yaitu Lectio dan Disputatio.
Lectio adalah metode yang diambil dari teks-teks para pemikir besar yang berwibawa untuk dikaji. Biasanya diberi interpretasi dan komentar-komentar kritis. Dalam proses inilah bisa timbul objektifitas metodis yang sangat mendalam terhadap sumbangan otentik dari para pemikir besar.
Disputatio adalah suatu diskusi sistematis dan meliputi debat dialegtis yang sangat terarah. Bahannya adalah soal-soal yang ditemukan dalam teks atau persoalan-persoalan yang muncul dari teks tersebut. Disputatio menekankan aspek disiplin, urutan-urutan harus tepat dalam mengajukan soal-soal  diskusi dan harus mengarah kejalan penemuan. Aspek lain dalam metode ini adalah penahanan terhadap sistem berpikir yang harus berlandaskan aturan logika formal. Dan dengan metode ini diharapkan terjadi proses kreatif, terbentuk sikap kritis serta kemampuan berpikir mandiri. Akhirnya akan lahir pemikiran-pemikiran filsafat.
4.         Metode Geometris (Rene Descartes)

Metode Geometris adalah metode yang Menganalisis mengenai hal-hal kompleks di capai intiuisi akan hakikat-hakikat sederhana (ide terang dan berbeda dari yang lain), dari hakikat-hakikat itu di dedukasikan secara matematis segala pengertian lainnya.
Rene Descartes (1596-1650) adalah pelopor filsafat modern yang berusaha melepaskan dari pengaruh fisafat klasik. Dalam metodenya Descartes mengintegrasikan logika, analisa geometris dan aljabar dengan menghindari kelemahannya. Metode ini membuat kombinasi dari pemahaman intuitif akan pemecahan soal dan uraian analitis. Mengembalikan soal itu ke hal yang telah diketahui tetapi akan menghasilkan pengertian baru.
Menurut Descartes semua kesatuan ilmu harus dikonsepsikan dan dikerjakan  oleh seorang diri saja. Koherensi yang tepat harus datang dari seseorang. Orang harus menemukan kebenaran sendiri. Mencari pemahaman dan keyakinan pribadi tidak harus mulai dengan kebenaran-kebenaran yang sudah diterima dari orang lain. Descartes ingin mencari titik pangkal yang bersifat mutlak dari filsafat dengan menolak atau meragukan metode-metode dan pengetahuan lain secara prinsipel ia menghasilkan segala-galanya. Tapi keraguan ini adalah bersifat kritis.
Descartes banyak memberi pengaruh pada filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Terutama usaha-usaha pembaharuannya, baik dalam pemikiran maupun metode ilmiah. Tapi juga banyak kritik ditujukan pada filsafat dan pembaharuannya. Descartes membangun kerangka berpikir dari ‘keraguan’ terhadap sesuatu, dari ‘keraguan’ terus berpikir logis menuju ke ‘kepastian’ untuk menemukan ‘keyakinan’ yang berada di balik keraguan itu, ketika keyakinan itu begitu jelas dan pasti (clear and distinct) akhirnya diperoleh ‘keyakinan yang sempurna, yang disebut truths of reason. Jadi, akal (reason) itulah basis (dasar) yang terpenting dalam berfilsafat. Filsafat Descartes ini disebut filsafat modern (modern philosophy).
Tokoh atau filosof lain yang mendukung Descartes adalah Spinoza (1632-1677), Leibniz (1646-1716), dan Hobbes (Peursen,C.A. 1980; Tafsir, A. 2003). Metode rasional inilah yang nantinya menghasilkan aliran atau paham rasionalisme dalam studi filsafat.
5.        Metode Empiris (Thomas Hobbes & John Locke)
Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri dan mengecilkan peran akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa yunani empeiria yang berarti pengalaman. Orang pertama pada abad ke-17 yang mengikuti aliran empirisme di Inggris adalah Thomas Hobbes (1588-1679). Jika Bacon lebih berarti dalam bidang metode penelitian, maka Hobbes dalam bidang doktrin atau ajaran. Hobbes telah menyusun suatu sistem yang lengkap berdasar kepada empirisme secara konsekuen. Meskipun ia bertolak pada dasar-dasar empiris, namun ia menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan empirisme dengan rasionalisme matematis. Ia mempersatukan empirisme dengan rasionalisme dalam bentuk suatu filsafat materialistis yang konsekuen pada zaman modern.
6.        Metode Transendental (Immanuel Kant & Neo Skolastik)
Immanuel Kant (1724-1804) dalam filsafat mengembangkan metode kritis transcendental. Kant berpikir tentang unsur-unsur mana dalam pemikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat dalam rasio manusia. Ia melawan dogmatisme.
Kant tidak mau mendasarkan pandangannya kepada pengertian-pengertian yang telah ada. Harus ada pertanggung jawaban secara kritis. Kant mempertanyakan bagaimana pengenalan objektif itu mungkin. Harus diketahui secara jelas syarat-syarat kemungkinan adanya pengenalan dan batas-batas pengenalan itu. Metodenya merupakan analisa criteria logis mengenai titik pangkal. Ada pengertian tertentu yang objektif sebagai titik tolak.
7.        Metode Fenomenologis (Husserl)
Edmund Husserl (1859-1938) mengembaangkan metode fenomenologis dalam filsafat. Menurut Husserl dalam usaha kita mencapai hakekat pengertian dalam aslinya harus melalui proses reduksi. Reduksi adalah proses pembersihan atau penyaringan dimana objek harus disaring dari beberapa hal tambahannya.
Obyek penyelidikan adalah fenomena dan yang kita cari adalah kekhasan hakekat yang berlaku bagi masing-masing fenomena. Fenomena adalah yang menampak, yaitu data sejauh disadari dan sejauh masuk dalam pemahaman. Obyek justru dalam relasi dengan kesadaran. Jadi fenomena adalah yang menampakkan diri menurut adanya didalam diri manusia.
Fenomenologis mengadakan refleksi mengenai pengalaman langsung. Melakukan penerobosan untuk mencari pengertian sebenarnya atau yang hakiki. Kita harus menerobs gejala-gejalanya yang menampakkan diri sampai pada hakekat obyek.
8.         Metode Dialektis (Hegel, Marx)
Metode yang dikembangkan oleh Hegel (George Wilhelm Friederich Hegel, 1770-1831) disebut metode dialektis. Disebut demikian sebab jalan untuk memahami kenyataan adalah dengan mengikuti gerakan fikiran atau konsep. Metode teori dan sistem tidak dapat dipisahkan karena saling menentukan dan keduanya sama dengan kenyataan pula.
Menurut Hegel, struktur didalam pikiran adalah sama dengan proses genetis dalam kenyataan. Dengan syarat kita mulai berfikir secara benar, kita akan memahami kenyataan sebab dinamika dinamika fikiran kita akan terbawa. Dialektis terjadi dalam langkah-langkah yang dinamakan tesis-antitesis-sintesis. Diungkapkan dalam tiga langkah: dua pengertian yang bertentangan, kemudian dipertemukan dalam suatu kesimpulan. Implikasinya adalah dengan  cara kita menentukan titik tolaknya lebih dulu. Kita ambil suatu pengertian atau konsep yang jelas dan paling pasti. Misalnya konsep tentang keadilan, kebebasan, kebaikan, dsb. Konsep tersebut dirumuskan secara jelas, kemudian diterangkan secara mendasar. Dalam proses pemikiran ini konsep yang jelas dan terbatas ini akan cair dan terbuka. Menjadi titik tegas dan hilang keterbatasannya. Kemudian pikiran akan dibawa dalam langkah kedua yang berupa pengingkaran. Konsep atau pemikiran pertama akan membawa konsep yang menjadi lawannya.

D.      Kebenaran dan Kegunaan Filsafat
1.      Kebenaran Filsafat
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha "memeluk" suatu kebenaran. Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah.

            Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya. Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan system.
            Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: "Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; "Kebenaran itu adalah kenyataan", tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidak benaran (keburukan).
            Dalam bahasan, makna "kebenaran" dibatasi pada kekhususan makna "kebenaran keilmuan (ilmiah)". Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.
            Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral, kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan akalbudi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akalbudi yang menyatakannya.
Para filosof bersandar kepada 5 cara untuk menguji kebenaran, yaitu koresponden (yakni persamaan dengan fakta), teori koherensi atau konsistensi, teori pragmatis, teori kebenaran performatif, dan teori kebenaran konsensus.
a.      Teori Kebenaran Korespondensi
Kebenaran korespondesi adalah kebenaran yang bertumpu pada relitas objektif.Kesahihan korespondensi itu memiliki pertalian yang erat dengan kebenaran dan kepastian indrawi. Sesuatu dianggap benar apabila yang diungkapkan (pendapat, kejadian, informasi) sesuai dengan fakta (kesan, ide-ide) di lapangan.
Contohnya: ada seseorang yang mengatakan bahwa Provinsi Yogyakarta itu berada di Pulau Jawa. Pernyataan itu benar karena sesuai dengan kenyataan atau realita yang ada. Tidak mungkin Provinsi Yogyakarta di Pulau Kalimantan atau bahkan Papua.
Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menurut corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.
b.      Teori Kebenaran Koherensi
Teori ini disebut juga dengan konsistensi, karena mendasarkan diri pada kriteria konsistensi suatu argumentasi. Makin konsisten suatu ide atau pernyataan yang dikemukakan beberapa subjuk maka semakin benarlah ide atau pernyataan tersebut. Paham koherensi tentang kebenaran biasanya dianut oleh para pendukung idealisme, seperti filusuf Britania F. H. Bradley (1846-1924).
Teori ini menyatakan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan, pendapat kejadian, atau informasi) akan diakui sahih atau dianggap benar apabila memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proporsi sebelumnya yang juga sahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan logika. Sederhannya, pernyataan itu dianggap benar jika sesuai (koheren/konsisten) dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Contohnya; Setiap manusia pasti akan mati. Soleh adalah seorang manusia. Jadi, Soleh pasti akan mati.
c.       Teori Kebenaran Pragmatik/Pragmatisme
Sebuah pernyataan itu benar jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Teori pragmatis ini pertama kali dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul "How to Make Our Ideas Clear".
Dari pengertian diatas, teori ini (teori Pragmatik) berbeda dengan teori koherensi dan korespondensi. Jika keduanya berhubungan dengan realita objektif, sedangkan pragmamtik berusaha menguji kebenaran suatu pernyataan dengan cara menguji melalui konsekuensi praktik dan pelaksanaannya.
Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima pengalaman pribadi, kebenaran mistis, yang terpenting dari semua itu membawa akibat praktis yang bermanfaat.
d.      Teori Kebenaran Performatif
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.
Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru, PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak hidup di Indonesia. Contoh lainnya pada masa pertumbuhan ilmu, Copernicus (1473-1543) mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang difatwakan gereja. Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris.
e.       Teori Kebenaran Konsensus
Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut. Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan bahwa serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu tentang realitas yang telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut.
Pandangan apriori ini disebut paradigma oeh Kuhn dan world view oleh Sardar. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama.
Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai konstelasi komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis.
2.        Kegunaan Filsafat
            Berfilsafat itu penting, sebab dengan berfilsafat orang akan mempunyai pedoman berpikir, bersikap dan bertindak secara sadar dalam menghadapi gejala – peristiwa yang timbul dalam alam dan masayarakat (Prawironegoro, 2010:19). Kesadaran itu akan membuat seseorang tidak mudah di goyahkan dan diombang-ambingkan oleh timbulnya gejala-gejala, peristiwa, dan maslah yang dihadapi. Beberapa macam kegunaan filsafat yaitu :
a.       Membawa berfikir logis, runtut dan Sistematis.
b.      Mengarahkan untuk memiliki wawasan luas.
c.       Mengarahkan untuk tidak bersikap statis.
d.      Membantu berfikir secara mendalam.
e.       Menambah ketakwaan.
f.       Menjadikan manusia sadar akan kedudukannya.
Berfilsafat berarti berpikir, bersikap dan bertindak secara sadar berdasarkan ilmu untuk menjelaskan secara rasional gejal-peristiwa alam dan masyarakat yang ditangkap dan dihadapi. Berfilsafat tidak bersikap dan bertindak secara tradisi, kebiasaan, adat-istiadat, dan naluri tetapi bersikap dan bertindak kritis, mencari sebab, mencari isi, dan mencari hakikat dari itu gejala-peristiwa alam dan sosial. Berfilsafat juga tidak menerima takdir atau nasib begitu saja, tetapi mengubah nasib atau takdir dengan pikiran dan perbuatan.

E.  Pembagian Filsafat
            Sebagai sebuah ilmu, filsafat dapat dibedakan menurut cabang-cabangnya. Pembagian ilmu filsafat ke dalam cabang-cabangnya didasarkan pada bagaimana cabang-cabang tersebut mengabstraksi realitas yang dihadapinya. Ini sekaligus menentukan perbedaan level atau tingkat abstraksi pengetahuan filosofis manusia. Terdapat dua level utama dari abstraksi, yakni :
1.       Abstraksi spekulatif/teoretis
·      Abstraksi tingkat pertama: Di sini akal budi mengabsraksikan realitas singular atau individualitas sebagai sesuatu yang bergerak dan dapat diinderai. Di sini terdapat cabang filsafat alam, seperti psikologi dan kosmologi.
·      Abstraksi tingkat kedua: Di sini akal budi mengabstraksi realitas yang bergerak sebagai kuantitas. Di sini terdapat bidang ilmu matematika.
·      Abstraksi tingkat ketiga: Di sini akal budi mengabstraksi realitas kuantitas sebagai pengada-pengada. Di sini terdapat cabang filsafat metafisika, seperti ontologi dan teodise.
2.        Abstraksi normatif/praktis
·       Abstraksi tingkat pertama: Di sini objek dari kerja atau operasi akal budi adalah kebenaran. Cabang filsafat yang penting di sini adalah logika.
·       Abstraksi tingkat kedua: Di sini kerja atau operasi akal budi yang terjadi secara volisional (berdasarkan kemauannya sendiri), memiliki kebaikan sebagai objek.
·       Abstraksi tingkat ketiga: Di sini terdapat operasi akal budi yang sifatnya artistik, dengan keindahan sebagai objeknya. Di sini terdapat cabang filsafat estetika.
Pembagian filsafat yang paling mudah dan paling banyak diiukuti adalah sebagaimana dilakukan oleh Aristoteles. Aristoteles membagi filsafat ke dalam tiga bagian pokok, yakni filsafat teoretis, praktis, dan puitis. Masing-masing bagian tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
1.      Filsafat teoretis atau spekulatif. Di sini akal budi mengejar pengetahuan demi dirinya sendiri. Cabang filsafat yang terdapat di sini adalah filsafat alam (kosmologi dan psikologi), gnoseologi, metafisika (ontologi dan teodise), dan sejarah.
2.      Filsafat praktis atau normatif. Di sini akal budi mengejar pengetahuan demi tindakan tertentu. Cabang filsafat yang terdapat di sini adalah etika, politik, logika, dan pedagogi.
3.      Filsafat puitis. Di sini akal budi mengejar pengetahuan demi keindahan. Cabang filsafat yang terdapat di sini adalah estetika.





           


BAB III
KESIMPULAN

Filsafat merupakan suatu upaya berfikir yang jelas dan terang tentang seluruh kenyataan, filsafat dapat mendorong pikiran kita untuk meraih kebenaran yang dapat membawa manusia kepada pemahaman, dan pemahaman membawa manusia kepada tindakan yang lebih layak.
Setiap ilmu pengetahuan memiliki objek tertentu yang menjadi lapangan penyelidikan atau lapangan studinya. Objek ini diperoleh melalui pendekatan atau cara pandang, metode, dan sistem tertentu. Adanya objek menjadikan setiap ilmu pengetahuan berbeda antara satu dengan lainnya. Objek Filsafat terdiri atas Objek material filsafat dan Objek formal filsafat.
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha "memeluk" suatu kebenaran. Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah.
Berfilsafat berarti berpikir, bersikap dan bertindak secara sadar berdasarkan ilmu untuk menjelaskan secara rasional gejal-peristiwa alam dan masyarakat yang ditangkap dan dihadapi. Berfilsafat tidak bersikap dan bertindak secara tradisi, kebiasaan, adat-istiadat, dan naluri tetapi bersikap dan bertindak kritis, mencari sebab, mencari isi, dan mencari hakikat dari itu gejala-peristiwa alam dan sosial. Berfilsafat juga tidak menerima takdir atau nasib begitu saja, tetapi mengubah nasib atau takdir dengan pikiran dan perbuatan.











DAFTAR PUSTAKA


John Dewey, Philosophy of Education Halaman 14

Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. (Diterjemahkan oleh: Soejono Soemargono). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Lasiyo dan Yuwono. (1994) Pengantar Ilmu Filsafat. Yogyakarta : Liberty.

Prawironegoro, Darsono, SE, SF, MA, MM. (2010). Filsafat Ilmu Pendidikan. Jakarta : Nusantara Consulting.

Suriasumantri, Jujun S.Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan