HAKIKAT
ILMU FILSAFAT
Oleh
:
Arif
Fathurrahman
072116055
JURUSAN
ADMINISTRASI PENDIDIKAN
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
PAKUAN BOGOR
TAHUN 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia adalah
makhluk hidup yang memiliki berbagai potensi untuk berkembang terus,
merealisasikan diri, serta menyempurnakan wujudnya sebagai manusia. Manusia
tidak cukup hanya tumbuh dan berkembang dengan dorongan instingnya saja.
Manusia dibekali akal budi untuk bertahan dan mengembangkan pengetahuan.
Dengan akal budinya, kemampuan manusia dalam bersuara
bisa berkembang menjadi kemampuan berbahasa dan berkomunikasi, sehingga manusia
disebut sebagai homo loquens dan animal symbolicum. Dengan akal budinya,
manusia dapat berpikir abstrak dan konseptual sehingga dirinya disebut sebagai homo sapiens (makhluk pemikir) atau
kalau menurut Aristoteles manusia dipandang sebagai animal that reasons yang ditandai dengan sifat selalu ingin tahu (all men by nature desire to know).
Pada diri manusia
melekat kehausan intelektual (intellectual
curiosity), yang menjelma dalam wujud aneka ragam pertanyaan. Bertanya adalah
berpikir dan berpikir dimanifestasikan dalam bentuk pertanyaan.
Selain itu, Manusia juga
merupakan makhluk yang memiliki rasa kagum pada apa yang diciptakan oleh Sang
Pencipta, misalnya saja kekaguman pada matahari, bumi, dirinya sendiri dan
seterusnya. Kekaguman tersebut kemudian mendorong manusia untuk berusaha
mengetahui alam semesta itu sebenarnya apa, bagaimana asal usulnya (masalah kosmologis).
Ia juga berusaha mengetahui dirinya sendiri, mengenai eksistensi, hakikat, dan
tujuan hidupnya.
Faktor lain yang juga
mendorong manusia berpikir sehingga timbul filsafat, pengetahuan dan ilmu adalah
masalah yang dihadapi manusia (aporia).
Kehidupan manusia selalu diwarnai dengan masalah, baik masalah yang bersifat
teoritis maupun praktis. Masalah mendorong manusia untuk berbuat dan mencari
jalan keluar yang tidak jarang menghasilkan temuan yang sangat berharga (necessity is the mother of science).
Filsafat merupakan suatu upaya
berfikir yang jelas dan terang tentang seluruh kenyataan, filsafat dapat
mendorong pikiran kita untuk meraih kebenaran yang dapat membawa manusia kepada
pemahaman, dan pemahaman membawa manusia kepada tindakan yang lebih layak.
Dengan berbagai latar belakang yang
dikemukakan dapat disimpulkan bahwa manusia memliki banyak kebutuhan dan
senantiasa menghadapi masalah dalam kehidupannya. Untuk menyelesaikan persoalan
tersebut, manusia memiliki keistimewaan yang diberikan Allah SWT untuk selalu
berpikir dengan akal budi yang disertai dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan
kebutuhan intelektual yang juga sangat tinggi menyebabkan manusia melakukan
kegiatan berpikir. Hasil kegiatan berpikir tersebut merupakan sebuah
pengetahuan yang dikembangkan oleh manusia itu sendiri.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dikemukakan, dalam makalah ini penulis akan berusaha
mengkaji tentang beberapa hal, antara lain :
1. Pengertian
Filsafat
2. Objek
Filsafat
3. Metode
Filsafat
4. Kebenaran
dan Kegunaan Filsafat
5. Pembagian
Filsafat
C.
Tujuan
Penulisan
Makalah ini disusun dan
dirancang sedemikian rupa dengan melibatkan berbagai sumber bacaan dengan
tujuan sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui Pengertian Filsafat
2.
Untuk mengetahui tentang Objek Filsafat
3.
Untuk mengetahui tentang Metode Filsafat
4.
Untuk mengetahui tetang kebenaran dan
kegunaan Filsafat
5. Untuk
mengetahui tentang pembagian Filsafat
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Filsafat
Istilah filsafat yang
merupakan terjemahan dari philolophy
(bahasa Inggris) berasal dari bahasa Yunani philo
(love of ) dan sophia (wisdom).
Jadi secara etimologis filsafat artinya cinta atau gemar akan kebajikan (love of wisdom). Cinta artinya hasrat
yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan
artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat berarti hasrat
atau keinginan yang sungguh-sungguh akan kebenaran sejati.
Berdasarkan arti secara
etimologis sebagaimana dijelaskan di atas kemudian para ahli berusaha merumuskan
definisi filsafat. Ada yang menyatakan bahwa filsafat sebagai suatu usaha untuk
berpikir secara radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir dengan mengupas sesuatu
sedalam-dalamnya. Aktivitas tersebut diharapkan dapat menghasilkan suatu
kesimpulan universal dari kenyataan partikular atau khusus, dari hal yang
tersederhana sampai yang terkompleks. Kattsoff, sebagaimana dikutip oleh
Associate Webmaster Professional (2001), menyatakan karakteristik filsafat
adalah berpikir secara kritis, berpikir dalam bentuk sistematis, mengahasilkan
sesuatu yang runtut, berpikir secara rasional serta bersifat komprehensif.
Para ahli lain
mengungkapkan arti istilah apa itu filsafat secara arti terminologi, di
antaranya :
1. Plato,
Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang
asli.
2. Aristoteles,
filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan yang
terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi,
politik, dan estetika.
3. Al
Farabi, filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maupun bagaimana hakikat
yang sebenarnya
4. Rene
descartes, filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam, dan
manusia menjadi pokok penyelidikan.
5. Langeveld,
filsafat adalah berpikir tentang masalah-msalah yang akhir dan yang menentukan
yaitu masalah-masalah yang mengenai makna keadaan Tuhan, keabadian, dan
kebebasan.
Dari beberapa
pengertian filsafat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan
mempergunakan akal sampai pada hakikatnya. Filsafat bukannya mempersoalkan
gejala-gejala atau fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dari suatu
fenomena. Hakikat adalah suatu prinsip yang menyatakan sesuatu adalah sesuatu
itu. Filsafat adalah usaha untuk mengetahui segala sesuatu. Jadi, filsafat
membahas lapisan yang terakhir dari segala sesuatu.
Ada beberapa pengertian pokok tentang
filsafat menurut kalangan filosof pertama yaitu Upaya spekulatif untuk
menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas. Kedua,
penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang
diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan. Ketiga adalah disiplin ilmu yang
berupaya untuk membantu Anda melihat apa yang Anda katakan dan untuk mengatakan
apa yang Anda lihat.
Dengan demikian filsafat adalah ilmu yang mencintai
dan mencari kebijaksanaan, atau pengetahuan mengenai semua hal melalui sebab-sebab
terakhir yang didapati melalui penalaran atau akal budi, filsafat mencari dan
menjelaskan hakekat dari segala sesuatu. Oleh karena itu Filsafat pada
perisipnya adalah induk semua ilmu, demikian kata kaum filosof. Pada awalnya, cakupan
obyek filsafat memang jauh lebih luas dibandingkan dengan ilmu. Keterbatasan
ilmu hanya pada obyek kajian yang bersifat empiris saja, sementara obyek kajian
filsafat mencakupi seluruhnya yaitu baik yang bersifat empiris maupun yang
bersifat non-empiris.
Dalam perjalanan selanjutnya, ilmu semakin
berkembang dengan pesatnya sehingga ilmu itu sudah terlepas dari induknya dan
menyebabkan tindakan ilmu semakin liar, arogan dan kompartementalisasi antara
satu bidang ilmu dengan bidang ilmu lainnya. Dengan kondisi seperti itu,
diperlukan pemersatu visi keilmuan dari berbagai disiplin ilmu. Filsafat
sebagai induk ilmu pengetahuan diharapkan dapat berperan kembali sebagaimana
fungsinya untuk mengayomi semua bidang ilmu agar dapat berjalan pada jalurnya
yaitu ilmu untuk kemaslahatan manusia.
B.
Objek
Filsafat
Objek filsafat ialah gejala-peristiwa alam dan sosial,
atau segala sesuatu yang ada di dunia, yaitu alam, manusia dan binatang.
Interaksi manusia dengan alam mengakibatkan manusia berpikir tentang alam,
kemudian melahirkan pengetahuan, teori, dan ilmu alam. Interaksi manusia dengan
manusia lainnya mengakibatkan manusia berpikir tentang manusia kemudian
melahirkan pengetahuan, teori, dan ilmu sosial, maka hasil interaksi sosial
melahirkan pengetahuan, teori, dan ilmu sosial.
Setiap ilmu pengetahuan memiliki objek tertentu yang
menjadi lapangan penyelidikan atau lapangan studinya. Objek ini diperoleh
melalui pendekatan atau cara pandang, metode, dan sistem tertentu. Adanya objek
menjadikan setiap ilmu pengetahuan berbeda antara satu dengan lainnya.
Lasiyo dan Yuwono (1994) membedakan objek filsafat atas dua macam yaitu :
1)
Objek material filsafat adalah segala
sesuatu yang ada, yang meliputi : ada dalam kenyataan, ada dalam pikiran, dan
yang ada dalam kemungkinan
2)
Objek formal filsafat adalah hakikat
dari segala sesuatu yang ada.
Objek material filsafat adalah
sasaran material suatu penyelidikan, pemikiran atau penelitian keilmuan. Objek
filsafat bisa berupa apa saja, apakah itu benda-benda material ataupun
benda-benda non material. Objek material filsafat tidak terbatas pada apakah
hanya ada di dalam kenyataan konkret, seperti manusia ataupun alam semesta,
ataukah hanya di dalam realitas abstrak. Sedangkan objek formal filsafat adalah
mencari keterangan sedalam-dalamnya. Filsafat tidak menyelidiki benda dari segi
susunanya saja, tetapi totalitas benda itu. Filsafat menyoroti dari
segi
hakikat, inti terdalam. Ilmu-ilmu lain membatasi diri hanya pada pengalaman
empiris, tapi sebaliknya filsafat berusaha mencari keterangan tentang inti dan
hakikat segala sesuatu.
C. Metode Filsafat
Filsafat
memiliki macam-macam metode, ada beberapa pendapat ahli mengenai metode-metode filsafat :
1.
Metode Kritis (Socrates)
Metode kritis disebut juga metode dialektik. Dipergunakan oleh Socrates dan
Plato. Harold H Titus mengatakan bahwa metode ini merupakan metode dasar dalam
filsafat. Socrates (470-399 SM) menganalisis objek-objek filsafatnya secara kritis
dan dialektis. Berusaha menemukan jawaban yang mendasarkan tentang objek
analisanya dengan pemeriksaan yang amat teliti dan terus-menerus. Socrates
menempatkan dirinya sebagai intelektual mid
wife, yaitu orang yang memberi dorongan agar seseorang bisa melahirkan
pengetahuannya yang tertimbun oleh pengetahuan semunya. Asumsi dasarnya adalah
bahwa setiap orang tahu akan hakekat. Jadi Socrates menolong orang untuk
melahirkan pengetahuan hakekat tersebut dengan jalan mengajak dialog yang
dilakukan secara cermat. Lewat proses inilaah orang didorong untuk melahirkan
pengetahuan yang dimiliki. Diteliti konsistensinya, dijernihkan
keyakinan-keyakinannya, dibuka kesadarannya sehingga orang memahami keadaan dirinya.
Entah dia memiliki pengetahuan yang sebenarnya atau dia kurang tahu.
Metode Socrates dan Plato ini disebut metode kritis, sebab proses yang
terjadi dalam implikasinya adalah menjernihkan keyakinan-keyakinan orang.
Meneliti apakan memiliki kosistensi intern atau tidak. Prinsip utama dalam
metode kritis adalah perkembangan pemikiran dengan cara mempertemukan ide-ide,
interplay antar ide. Sasarannya adalah yang umum atau batiniah. Akhir dari
dialog kritis tersebut adalah perumusan definisi yang sudah merupakan suatu
generalisasi.
2.
Metode Intuitif (Platinos dan Bergson)
Filsuf yang mengembangkan pemikiran dengan metode ini adalah Platinos
(205-275 M) dan Henri Bergson (1859-1941). Platinos menggunakan metode intuitif
atau mistik dengan membentuk kelompok yang melakukan kontemplasi religious yang
dijiwai oleh sikap kontemplatif.
Metode filsafat Platinos disebut metode mistik sebab dimaksudkan untuk
menuju pengalaman batin dan persatuan dengan Tuhan. Dengan demikian bisa kita
pahami bahwa tujuan Platinos dengan filsafatnya adalah ingin membawa manusia
kedalam hidup mistis, hidup yang mempertinggi nilai rohani dan persatuan dengan
Yang Maha Esa.
Tokoh lain dalam metode intuitif adalah Henry Bergson, seorang filsuf
Yahudi dan juga seorang matematikus dan fisikawan. Menurut Henry Bergson,
rasio tidak akan mampu untuk menyelami hakekat sesuatu. Rasio hanya berguna
bagi pemikiran ilmu fisika, matematika, dan mekanika. Untuk bisa menangkap,
memahami hakekat suatu kenyataan kita harus mempergunakan intuisi. Intuisi
menurut Henry Bergson adalah kekuatan rohani, merupakan naluri yang mendapatkan
kesadaran diri.
Intuisi adalah percakapan untuk menyimpulkan dan meninjau dengan sadar
lepas dari rasio. Pemikiran intuisi bersifat dinamis dan berfungsi
untuk mengenal hakekat pribadi dan seluruh kenyataan. Objek bisa
dikenal sebagai masa murni yang keadaannya berbeda sekali dengan waktu dimana
akal bisa mengenalnya.
3.
Metode Skolastik (Aristoteles dan Thomas
Aquinas)
Metode oleh Skolastik dikembangkan Thomas Aquinas (1225-1247). Juga disebut
metode sintetis deduktif. Metode berpikir skolastik menunjukan persamaan dengan
metode mengajar dalam bentuknya yang sistematis dan matang. Ada dua prinsip
utama dalam metode sekolastik yaitu Lectio dan Disputatio.
Lectio adalah metode yang diambil dari teks-teks para pemikir besar yang
berwibawa untuk dikaji. Biasanya diberi interpretasi dan komentar-komentar
kritis. Dalam proses inilah bisa timbul objektifitas metodis yang sangat
mendalam terhadap sumbangan otentik dari para pemikir besar.
Disputatio adalah suatu diskusi sistematis dan meliputi debat dialegtis
yang sangat terarah. Bahannya adalah soal-soal yang ditemukan dalam teks atau
persoalan-persoalan yang muncul dari teks tersebut. Disputatio menekankan aspek
disiplin, urutan-urutan harus tepat dalam mengajukan soal-soal diskusi
dan harus mengarah kejalan penemuan. Aspek lain dalam metode ini adalah
penahanan terhadap sistem berpikir yang harus berlandaskan aturan logika
formal. Dan dengan metode ini diharapkan terjadi proses kreatif, terbentuk
sikap kritis serta kemampuan berpikir mandiri. Akhirnya akan lahir
pemikiran-pemikiran filsafat.
4.
Metode Geometris (Rene Descartes)
Metode Geometris adalah metode yang Menganalisis mengenai hal-hal kompleks
di capai intiuisi akan hakikat-hakikat sederhana (ide terang dan berbeda dari
yang lain), dari hakikat-hakikat itu di dedukasikan secara matematis segala
pengertian lainnya.
Rene Descartes (1596-1650) adalah pelopor filsafat modern yang berusaha melepaskan
dari pengaruh fisafat klasik. Dalam metodenya Descartes mengintegrasikan
logika, analisa geometris dan aljabar dengan menghindari kelemahannya. Metode
ini membuat kombinasi dari pemahaman intuitif akan pemecahan soal dan uraian
analitis. Mengembalikan soal itu ke hal yang telah diketahui tetapi akan
menghasilkan pengertian baru.
Menurut Descartes semua kesatuan ilmu harus dikonsepsikan dan
dikerjakan oleh seorang diri saja. Koherensi yang tepat harus datang
dari seseorang. Orang harus menemukan kebenaran sendiri. Mencari pemahaman dan
keyakinan pribadi tidak harus mulai dengan kebenaran-kebenaran yang sudah
diterima dari orang lain. Descartes ingin mencari titik pangkal yang bersifat mutlak dari filsafat
dengan menolak atau meragukan metode-metode dan pengetahuan lain secara
prinsipel ia menghasilkan segala-galanya. Tapi keraguan ini adalah bersifat
kritis.
Descartes banyak memberi pengaruh pada filsafat dan ilmu pengetahuan
modern. Terutama usaha-usaha pembaharuannya, baik dalam pemikiran maupun metode
ilmiah. Tapi juga banyak kritik ditujukan pada filsafat dan
pembaharuannya. Descartes membangun kerangka berpikir dari ‘keraguan’ terhadap
sesuatu, dari ‘keraguan’ terus berpikir logis menuju ke ‘kepastian’ untuk
menemukan ‘keyakinan’ yang berada di balik keraguan itu, ketika keyakinan itu
begitu jelas dan pasti (clear and
distinct) akhirnya diperoleh ‘keyakinan yang sempurna, yang disebut truths of reason. Jadi, akal (reason) itulah basis (dasar) yang
terpenting dalam berfilsafat. Filsafat Descartes ini disebut filsafat modern (modern philosophy).
Tokoh atau filosof lain yang mendukung Descartes adalah Spinoza
(1632-1677), Leibniz (1646-1716), dan Hobbes (Peursen,C.A. 1980; Tafsir, A.
2003). Metode rasional inilah yang nantinya menghasilkan aliran atau paham
rasionalisme dalam studi filsafat.
5.
Metode Empiris (Thomas Hobbes & John Locke)
Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman
dalam memperoleh pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri dan mengecilkan peran
akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa yunani empeiria yang berarti
pengalaman. Orang pertama pada abad ke-17 yang mengikuti aliran empirisme di
Inggris adalah Thomas Hobbes (1588-1679). Jika Bacon lebih berarti dalam bidang
metode penelitian, maka Hobbes dalam bidang doktrin atau ajaran. Hobbes telah
menyusun suatu sistem yang lengkap berdasar kepada empirisme secara konsekuen.
Meskipun ia bertolak pada dasar-dasar empiris, namun ia menerima juga metode
yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan
empirisme dengan rasionalisme matematis. Ia mempersatukan empirisme dengan
rasionalisme dalam bentuk suatu filsafat materialistis yang konsekuen pada
zaman modern.
6.
Metode Transendental (Immanuel Kant & Neo Skolastik)
Immanuel Kant (1724-1804) dalam filsafat mengembangkan metode kritis
transcendental. Kant berpikir tentang unsur-unsur mana dalam pemikiran manusia
yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat dalam rasio
manusia. Ia melawan dogmatisme.
Kant tidak mau mendasarkan pandangannya kepada pengertian-pengertian yang
telah ada. Harus ada pertanggung jawaban secara kritis. Kant mempertanyakan
bagaimana pengenalan objektif itu mungkin. Harus diketahui secara jelas
syarat-syarat kemungkinan adanya pengenalan dan batas-batas pengenalan itu. Metodenya
merupakan analisa criteria logis mengenai titik pangkal. Ada pengertian
tertentu yang objektif sebagai titik tolak.
7.
Metode Fenomenologis (Husserl)
Edmund Husserl (1859-1938) mengembaangkan metode fenomenologis dalam
filsafat. Menurut Husserl dalam usaha kita mencapai hakekat pengertian dalam
aslinya harus melalui proses reduksi. Reduksi adalah proses pembersihan atau
penyaringan dimana objek harus disaring dari beberapa hal tambahannya.
Obyek penyelidikan adalah fenomena dan yang kita cari adalah kekhasan
hakekat yang berlaku bagi masing-masing fenomena. Fenomena adalah yang
menampak, yaitu data sejauh disadari dan sejauh masuk dalam pemahaman. Obyek
justru dalam relasi dengan kesadaran. Jadi fenomena adalah yang menampakkan
diri menurut adanya didalam diri manusia.
Fenomenologis mengadakan refleksi mengenai pengalaman langsung. Melakukan
penerobosan untuk mencari pengertian sebenarnya atau yang hakiki. Kita harus
menerobs gejala-gejalanya yang menampakkan diri sampai pada hakekat obyek.
8.
Metode Dialektis (Hegel, Marx)
Metode yang dikembangkan oleh Hegel (George Wilhelm Friederich Hegel,
1770-1831) disebut metode dialektis. Disebut demikian sebab jalan untuk
memahami kenyataan adalah dengan mengikuti gerakan fikiran atau konsep. Metode
teori dan sistem tidak dapat dipisahkan karena saling menentukan dan keduanya
sama dengan kenyataan pula.
Menurut Hegel, struktur didalam pikiran adalah sama dengan proses genetis
dalam kenyataan. Dengan syarat kita mulai berfikir secara benar, kita akan
memahami kenyataan sebab dinamika dinamika fikiran kita akan terbawa. Dialektis
terjadi dalam langkah-langkah yang dinamakan tesis-antitesis-sintesis. Diungkapkan dalam tiga langkah: dua
pengertian yang bertentangan, kemudian dipertemukan dalam suatu kesimpulan.
Implikasinya adalah dengan cara kita
menentukan titik tolaknya lebih dulu. Kita ambil suatu pengertian atau konsep
yang jelas dan paling pasti. Misalnya konsep tentang keadilan, kebebasan,
kebaikan, dsb. Konsep tersebut dirumuskan secara jelas, kemudian diterangkan
secara mendasar. Dalam proses pemikiran ini konsep yang jelas dan terbatas ini
akan cair dan terbuka. Menjadi titik tegas dan hilang keterbatasannya. Kemudian
pikiran akan dibawa dalam langkah kedua yang berupa pengingkaran. Konsep atau
pemikiran pertama akan membawa konsep yang menjadi lawannya.
D.
Kebenaran dan Kegunaan Filsafat
1.
Kebenaran Filsafat
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai
nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau
martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha "memeluk" suatu
kebenaran. Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna
dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh
manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui
tahap-tahap metode ilmiah.
Kriteria ilmiah dari suatu
ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada. Apalagi
terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun yang
metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya
pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam
dunianya. Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu
pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu
bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan
sebagai produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan
harus terstruktur atas komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti
(begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas
dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan
dalam satu kesatuan system.
Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran.
Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: "Apakah kebenaran itu? lalu
pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab;
"Kebenaran itu adalah kenyataan", tetapi bukanlah kenyataan (dos
sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang
terjadi bisa saja berbentuk ketidak benaran (keburukan).
Dalam bahasan, makna
"kebenaran" dibatasi pada kekhususan makna "kebenaran keilmuan
(ilmiah)". Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng,
melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan
pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari
keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli
dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak
bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi
steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat
oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.
Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran
moral, kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi
bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa
yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan
psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif.
Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan
akalbudi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada
merupakan dasar dari kebenaran, dan akalbudi yang menyatakannya.
Para filosof bersandar kepada 5 cara untuk menguji kebenaran, yaitu
koresponden (yakni persamaan dengan fakta), teori koherensi atau konsistensi,
teori pragmatis, teori kebenaran performatif, dan teori kebenaran konsensus.
a. Teori
Kebenaran Korespondensi
Kebenaran korespondesi adalah kebenaran yang bertumpu pada relitas
objektif.Kesahihan korespondensi itu memiliki pertalian yang erat dengan
kebenaran dan kepastian indrawi. Sesuatu dianggap benar apabila yang
diungkapkan (pendapat, kejadian, informasi) sesuai dengan fakta (kesan,
ide-ide) di lapangan.
Contohnya: ada seseorang yang mengatakan bahwa Provinsi Yogyakarta itu
berada di Pulau Jawa. Pernyataan itu benar karena sesuai dengan kenyataan atau
realita yang ada. Tidak mungkin Provinsi Yogyakarta di Pulau Kalimantan atau
bahkan Papua.
Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi
ini. Teori kebenaran menurut corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat
sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas
pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang
diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi
tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.
b.
Teori Kebenaran Koherensi
Teori ini disebut juga dengan konsistensi, karena mendasarkan diri pada
kriteria konsistensi suatu argumentasi. Makin konsisten suatu ide atau
pernyataan yang dikemukakan beberapa subjuk maka semakin benarlah ide atau
pernyataan tersebut. Paham koherensi tentang kebenaran biasanya dianut oleh
para pendukung idealisme, seperti filusuf Britania F. H. Bradley (1846-1924).
Teori ini menyatakan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan,
pendapat kejadian, atau informasi) akan diakui sahih atau dianggap benar
apabila memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proporsi sebelumnya yang
juga sahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
logika. Sederhannya, pernyataan itu dianggap benar jika sesuai
(koheren/konsisten) dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
Contohnya; Setiap manusia pasti akan mati. Soleh adalah seorang manusia. Jadi,
Soleh pasti akan mati.
c.
Teori Kebenaran
Pragmatik/Pragmatisme
Sebuah pernyataan itu benar jika pernyataan itu atau konsekuensi dari
pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Teori
pragmatis ini pertama kali dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam
sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul "How to Make
Our Ideas Clear".
Dari pengertian diatas, teori ini (teori Pragmatik) berbeda dengan teori koherensi
dan korespondensi. Jika keduanya berhubungan dengan realita objektif, sedangkan
pragmamtik berusaha menguji kebenaran suatu pernyataan dengan cara menguji
melalui konsekuensi praktik dan pelaksanaannya.
Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima
pengalaman pribadi, kebenaran mistis, yang terpenting dari semua itu membawa
akibat praktis yang bermanfaat.
d. Teori Kebenaran Performatif
Teori ini
menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu.
Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di Indonesia
mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang
lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.
Contoh kedua
adalah pada masa rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang
baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru, PKI adalah partai terlarang dan
semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak hidup di
Indonesia. Contoh lainnya pada masa pertumbuhan ilmu, Copernicus (1473-1543)
mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang difatwakan
gereja. Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan
oleh gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris.
e. Teori Kebenaran Konsensus
Suatu
teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau
perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung
paradigma tersebut. Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini
menekankan bahwa serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk
dipelajari oleh kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu
tentang realitas yang telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut.
Pandangan
apriori ini disebut paradigma oeh Kuhn dan world view oleh Sardar. Paradigma
ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains
atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu
paradigma bersama.
Masyarakat
sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai
konstelasi komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa
menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota
kelompok menerapkannya dengan cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan
keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa
melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai
keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis.
2.
Kegunaan Filsafat
Berfilsafat itu penting,
sebab dengan berfilsafat orang akan mempunyai pedoman berpikir, bersikap dan
bertindak secara sadar dalam menghadapi gejala – peristiwa yang timbul dalam
alam dan masayarakat (Prawironegoro, 2010:19). Kesadaran itu akan membuat
seseorang tidak mudah di goyahkan dan diombang-ambingkan oleh timbulnya
gejala-gejala, peristiwa, dan maslah yang dihadapi. Beberapa macam kegunaan
filsafat yaitu :
a. Membawa berfikir logis, runtut dan Sistematis.
b. Mengarahkan untuk memiliki wawasan luas.
c. Mengarahkan untuk tidak bersikap statis.
d. Membantu berfikir secara mendalam.
e. Menambah ketakwaan.
f. Menjadikan manusia sadar akan kedudukannya.
Berfilsafat
berarti berpikir, bersikap dan bertindak secara sadar berdasarkan ilmu untuk
menjelaskan secara rasional gejal-peristiwa alam dan masyarakat yang ditangkap
dan dihadapi. Berfilsafat tidak bersikap dan bertindak secara tradisi,
kebiasaan, adat-istiadat, dan naluri tetapi bersikap dan bertindak kritis,
mencari sebab, mencari isi, dan mencari hakikat dari itu gejala-peristiwa alam
dan sosial. Berfilsafat juga tidak menerima takdir atau nasib begitu saja,
tetapi mengubah nasib atau takdir dengan pikiran dan perbuatan.
E. Pembagian Filsafat
Sebagai
sebuah ilmu, filsafat dapat dibedakan menurut cabang-cabangnya. Pembagian ilmu
filsafat ke dalam cabang-cabangnya didasarkan pada bagaimana cabang-cabang
tersebut mengabstraksi realitas yang dihadapinya. Ini sekaligus menentukan
perbedaan level atau tingkat abstraksi pengetahuan filosofis manusia. Terdapat
dua level utama dari abstraksi, yakni :
1. Abstraksi spekulatif/teoretis
· Abstraksi
tingkat pertama: Di sini akal budi mengabsraksikan realitas singular atau
individualitas sebagai sesuatu yang bergerak dan dapat diinderai. Di sini
terdapat cabang filsafat alam, seperti psikologi dan kosmologi.
· Abstraksi
tingkat kedua: Di sini akal budi mengabstraksi realitas yang bergerak sebagai
kuantitas. Di sini terdapat bidang ilmu matematika.
· Abstraksi
tingkat ketiga: Di sini akal budi mengabstraksi realitas kuantitas sebagai
pengada-pengada. Di sini terdapat cabang filsafat metafisika, seperti ontologi
dan teodise.
2.
Abstraksi normatif/praktis
·
Abstraksi tingkat pertama: Di sini objek dari kerja
atau operasi akal budi adalah kebenaran. Cabang filsafat yang penting di sini
adalah logika.
·
Abstraksi tingkat kedua: Di sini kerja atau operasi
akal budi yang terjadi secara volisional (berdasarkan kemauannya sendiri),
memiliki kebaikan sebagai objek.
·
Abstraksi tingkat ketiga: Di sini terdapat operasi
akal budi yang sifatnya artistik, dengan keindahan sebagai objeknya. Di sini
terdapat cabang filsafat estetika.
Pembagian
filsafat yang paling mudah dan paling banyak diiukuti adalah sebagaimana
dilakukan oleh Aristoteles. Aristoteles membagi filsafat ke dalam tiga bagian
pokok, yakni filsafat teoretis, praktis, dan puitis. Masing-masing bagian
tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
1.
Filsafat teoretis atau spekulatif. Di sini
akal budi mengejar pengetahuan demi dirinya sendiri. Cabang filsafat yang
terdapat di sini adalah filsafat alam (kosmologi dan psikologi), gnoseologi,
metafisika (ontologi dan teodise), dan sejarah.
2. Filsafat
praktis atau normatif. Di sini akal budi mengejar pengetahuan demi tindakan
tertentu. Cabang filsafat yang terdapat di sini adalah etika, politik, logika,
dan pedagogi.
3. Filsafat
puitis. Di sini akal budi mengejar pengetahuan demi keindahan. Cabang filsafat
yang terdapat di sini adalah estetika.
BAB
III
KESIMPULAN
Filsafat merupakan suatu upaya
berfikir yang jelas dan terang tentang seluruh kenyataan, filsafat dapat
mendorong pikiran kita untuk meraih kebenaran yang dapat membawa manusia kepada
pemahaman, dan pemahaman membawa manusia kepada tindakan yang lebih layak.
Setiap ilmu pengetahuan memiliki objek tertentu yang
menjadi lapangan penyelidikan atau lapangan studinya. Objek ini diperoleh
melalui pendekatan atau cara pandang, metode, dan sistem tertentu. Adanya objek
menjadikan setiap ilmu pengetahuan berbeda antara satu dengan lainnya.
Objek Filsafat terdiri atas Objek material filsafat dan Objek formal filsafat.
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai
nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau
martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha "memeluk" suatu
kebenaran. Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna
dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh
manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui
tahap-tahap metode ilmiah.
Berfilsafat
berarti berpikir, bersikap dan bertindak secara sadar berdasarkan ilmu untuk
menjelaskan secara rasional gejal-peristiwa alam dan masyarakat yang ditangkap
dan dihadapi. Berfilsafat tidak bersikap dan bertindak secara tradisi,
kebiasaan, adat-istiadat, dan naluri tetapi bersikap dan bertindak kritis,
mencari sebab, mencari isi, dan mencari hakikat dari itu gejala-peristiwa alam
dan sosial. Berfilsafat juga tidak menerima takdir atau nasib begitu saja,
tetapi mengubah nasib atau takdir dengan pikiran dan perbuatan.
DAFTAR
PUSTAKA
http://abdulzahir86.blogspot.com/2012/03/metode-filsafat_07.html di akses pada Jum’at, 7 Oktober
2016
John Dewey, Philosophy of Education
Halaman 14
Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar
Filsafat. (Diterjemahkan oleh: Soejono Soemargono). Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya.
Lasiyo
dan Yuwono. (1994) Pengantar Ilmu Filsafat. Yogyakarta : Liberty.
Prawironegoro, Darsono, SE, SF, MA, MM. (2010).
Filsafat Ilmu Pendidikan. Jakarta : Nusantara Consulting.
Suriasumantri, Jujun S.Filsafat Ilmu : Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan